Senin, 06 Desember 2010

KETIKA YANG TAK TERDUGA DATANG MENGHAMPIRI........

Malam semakin buta. Dentuman musik dari DJ membuat adrenalinku semakin terpacu. Entah sudah berapa botol Jack Daniels yang kuhabiskan malam ini. Para penari telanjang membuatku enggan untuk beranjak dari tempat maksiat ini. Aku benar-benar menikmati malamku. Malam nistaku, aku tahu itu.
            Namaku Ali Putra Ramadhan. Ya, seperti yang kalian tahu, Ali berarti seorang pemimpin. Atau bisa dibilang pembimbing. Aku sering menertawakan namaku sendiri. Bagaimana mungkin orang sepertiku menjadi seorang pemimpin atau bahkan mungkin pembimbing? Maka dari itu, aku mengenalkan diriku sebagai Alex. Demi tidak merusak makna harfiah nama Ali itu sendiri.
            Aku seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri terkemuka di kotaku. Yang membuatku heran, mengapa aku selalu mendapatkan keadilan untuk ini. Jika dibandingkan dengan teman-temanku yang lain, aku bukan termasuk kategori murid yang pintar. Jangankan belajar, sholatpun aku tidak pernah. Padahal aku dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang agamis. Orang tuaku bahkan sudah angkat tangan mengurusiku. Aku justru malah lebih senang jika mereka “melepaskanku”. Itu artinya aku bebas melakukan apapun yang aku sukai dan aku inginkan.
            Malam ini adalah pesta ulang tahun salah satu sahabatku yang diadakan di diskotek termahal di pusat kota. Sebagai sahabat yang baik tentu aku menghadirinya. Acara dimulai pukul 20.00 waktu undangan. Aku menyebutnya demikian karena tidak mungkin baginya –dan bagiku tentu saja- memulai pesta nista kami “sore hari”. Jadi, aku bersiap diri mulai pukul 21.00.
            Pesta kelas atas itu dihadiri oleh para jetset. Maklum, sahabatku ini adalah anak seorang pengusaha kayu yang namanya sudah melegenda. Aku yang “hanya” anak seorang pejabat jelas kalah saing dengannya. Tapi perbedaan diantara kami sangat mencolok. Keluarga sahabatku ini memang dikenal dengan keluarga yang senang foya-foya, senang pesta –bahkan pesta nistapun sering mereka selenggarakan-. Jika dipikir secara logika, mengapa hal tersebut jarang sekali diendus awak media? Kurasa, orang gila pun mengerti jawaban pertanyaan tersebut. Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.
            Sang DJ mulai memainkan keahliannya. Kepulan asap rokok, aroma alkohol yang tercemar di seluruh penjuru ruangan malah membuatku semakin bersemangat. Aku larut dalam suasana. Apalagi saat sahabatku terus mencekokiku dengan berbotol-botol bir.

            Aku mabuk. Aku fly. Aku bahkan lupa diriku siapa. Aku benar-benar diluar kesadaran. Para penari telanjang terus merayuku. Aku hilang arah. Aku seperti hewan yang nafsunya sudah sampai diubun-ubun.
            Perayaan itu berakhir saat matahari mulai menunjukkan sinarnya. Aku yang masih dalam keadaan mabuk berat berpamitan pada para sahabat-sahabatku. Mereka mencegahku karena melihat kondisiku saat itu yang tidak memungkinkan untuk menyetir sendiri. Tapi aku nekat.
            Aku pulang dengan mengendarai fixie hadiah ulang tahun dari ayahku. Agak mewah jika dibilang hadiah, karena pada saat itu lebih tepatnya aku memaksa ayahku untuk membelinya yang saat itu sudah bosan mengendarai new jazz goldku. Aku melaju dengan kencang. Aku melewati rute yang lain dari biasanya. Entah mengapa pikiranku saat itu mengarahkanku melewati rute Masjid Besar yang menjadi ikon kota. Saat aku melintas di sepan Masjid itu, samar-samar aku mendengar suara orang bernyanyi. Merdu, syahdu, indah sekali. Aku terus mengamati suara itu. Ternyata itu adalah suara adzan subuh yang sedang dikumandangkan dari Masjid Besar. Aku berontak. Kepalaku pusing. Pusing sekali. Sakit. Dadaku nyeri, tanganku dingin. Keringat mulai bercucuran deras di tubuhku. Aku klimaks. Kutarik gas fixieku agar lajunya semakin menggila. Aku seperti orang kesetanan.
            Tiba-tiba dari arah yang berlawanan, sebuah mobil sedan sedang melintas dengan kecepatan sedang. Aku berusaha menghindarinya. Tapi apa daya, gaya gravitasi lebih kuat menarikku sehingga aku terpelanting jauh. Aku terlempar dari fixieku. darah mengalir deras dari sekujur tubuhku.
            Hanya berselang beberapa menit orang-orang sudah berkerumun. Beberapa bahkan membisikkan sesuatu di telingaku. Seorang pria berbaju putih menggunakan sarung memangku kepalaku yang hampir mati rasa. Ia menyuruhku berkata “Allah.. Allah..”. Ternyata itu ayahku. Kuikuti perintahnya. Dengan sisa tenaga yang masih ada, terbata-bata aku menyebutkan asma Allah. Aku berhasil. Aku berhasil mengucapkan namaNya. Ayahku membalas dengan air mata di pipinya “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un..”

0 komentar:

Posting Komentar